Beranda | Artikel
Julukan Wong Sableng
Senin, 17 Februari 2020

Bismillah.

Salah satu tantangan yang harus dihadapi orang yang berjalan di atas kebenaran adalah mendapatkan cemoohan. Dahulu kala para rasul pun dicela dan dimusuhi. Mereka bahkan dijuluki sebagai tukang sihir atau orang gila (dalam bahasa Jawa disebut ‘wong sableng’).

Hal ini telah dikisahkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Demikianlah, tidaklah datang kepada orang-orang sebelum mereka itu seorang rasul kecuali mereka (kaumnya) berkata, ‘Itu tukang sihir atau orang gila’.” (adz-Dzariyat : 52)

Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan maksud ayat tersebut. Bahwa sebagaimana orang-orang kafir Mekah mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka demikian pula kaum-kaum sebelumnya. Mereka pun mendustakan para rasul sebelumnya dan mencemooh rasul dengan julukan serupa, yaitu ‘tukang sihir’ atau ‘orang gila’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 1236)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hiburan dari Allah ta’ala untuk nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam; bahwa sebagaimana engkau mendapatkan ejekan dari orang-orang musyrik sebagai tukang sihir atau orang gila, maka demikian pula para rasul terdahulu pun mendapatkan ejekan yang sama dari orang-orang yang mendustakan mereka (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 7/425)

Apa yang diungkapkan di atas mengingatkan, bahwa kewajiban seorang muslim yang mengamalkan agama dan mendakwahkannya adalah harus berperisai dengan kesabaran. Seperti yang pernah dinyatakan oleh penulis kitab Tsalatsatul Ushul, bahwa diantara empat kewajiban kita -setelah berilmu, beramal, dan berdakwah- adalah bersabar menghadapi gangguan di atasnya. Inilah sunnatullah dalam berdakwah; ujian dan gangguan yang menuntut kesabaran!

Tidakkah kita ingat perjuangan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam selama ratusan tahun menghadapi kaumnya; dan ternyata tidak ada yang beriman bersama beliau kecuali segelintir manusia…

Tidakkah kita ingat perjuangan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam mendakwahi orang tua dan masyarakatnya yang memuja berhala; sampai beliau dilemparkan dengan manjaniq (semacam ketapel besar) untuk dibakar di dalam tungku api besar yang menyala-nyala… 

Tidakkah kita ingat perjuangan keras Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan tauhid di Mekah belasan tahun dan harus hijrah dari tanah kelahirannya disebabkan kerasnya tekanan dan permusuhan yang dilancarkan kaum musyrikin di masa itu…

Ini hanyalah secuil gambaran dari sekian banyak kisah kesabaran para nabi dan pejuang dakwah Islam di sepanjang masa. Cemoohan, ejekan, dan penentangan terhadap dakwah mewarnai jalan yang mereka tempuh. Mereka tidak ingin membuat ridha manusia dengan cara membuat murka Allah. Yang mereka harapkan adalah apa yang ada di sisi Allah. Demikianlah sifat seorang da’i ilallah; bahwa dia tidak mau tertipu dengan pujian dan celaan manusia…

Seperti yang dikatakan oleh ulama terdahulu, bahwa tanda keikhlasan itu adalah melupakan pandangan manusia dengan tetap melihat kepada penilaian Allah al-Khaliq. Karena yang terpenting baginya adalah; apakah Allah ridha dengan perbuatannya atau tidak. Adapun ridha semua orang maka hal itu adalah ‘cita-cita yang tak kan bisa digapai’, sebagaimana kata orang arab.

Adapun di masa kita sekarang ini, berbagai cemoohan dan propaganda pun ditebarkan sedemikian rupa untuk menjauhkan umat dari para penyeru kebenaran. Seperti perkataan mereka bahwa para penyeru tauhid adalah pemecah belah persatuan. Atau julukan kepada para pembela ajaran nabi sebagai kaum yang kolot dan tidak memahami semangat perubahan jaman. Ini hanyalah segelintir contoh celaan jahat yang dilemparkan oleh penyeru kebatilan di masa kini…

Maka kita juga ingin menghibur para penyeru kebenaran di masa kini, bahwa berbagai celaan dan julukan keji yang dituduhkan kepada mereka bukanlah suatu hal yang baru. Bahkan ada sebagian pendakwah yang harus berhadapan dengan tekanan fisik, ancaman pedang, dikucilkan oleh manusia, atau dijebloskan ke dalam penjara karena dakwahnya. Yang kita maksud tentu bukan para penyebar paham teroris dan aliran takfiri yang gemar mencaci maki penguasa. Yang kita maksud adalah mereka yang tulus membela kebenaran semacam Imam Ahmad di masanya, semacam Ibnu Taimiyah di masanya, dan Syaikh Muhammad at-Tamimi di masanya.

Seperti yang diungkapkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam mukadimah kitabnya ar-Radd ‘alal Jahmiyah bahwa para ulama memiliki pengaruh yang amat indah bagi keadaan umat manusia. Akan tetapi sebaliknya, para manusia justru memberikan tanggapan dan reaksi yang teramat buruk kepada mereka. Orang kita mengatakan ‘air susu dibalas air tuba’.

Meskipun demikian, kita dapati -dan keutamaan adalah milik Allah- bahwa para ulama tidak ingin memperkeruh suasana. Mereka berupaya menjalankan tuntunan Allah -sebagaimana digambarkan di dalam surat al-Furqan ayat 63 tentang ciri-ciri Ibadurrahman- yaitu apabila orang-orang jahil berbicara kepada mereka -dengan kebodohannya- maka para hamba Allah itu menanggapinya dengan ‘ucapan keselamatan’. Maksudnya, mereka tidak membalas kebodohan dengan kebodohan pula, dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 6/122)  

Sebagian orang yang bersemangat -terutama para pemuda- dan cemburu pada agamanya -dan hal itu adalah terpuji- terlalu menggebu-gebu dalam menghadapi kebodohan manusia. Akhirnya dia juga terseret pada kebodohan serupa. Cacian dan cemoohan dibalas dengan cacian dan cemoohan pula. Kita sepakat bahwa kebatilan wajib diberantas dan dibenci. Akan tetapi tidak harus kebatilan itu dilawan dengan cara-cara yang kasar lagi vulgar. Ada saatnya ketegasan itu diungkapkan; tentu dengan bahasa dan momen yang tepat. Terlebih lagi kita berhadapan dengan berbagai tipe dan latar belakang orang yang memiliki kemungkinan besar ‘salah paham’ dengan maksud ucapan keras yang dilontarkan. Seperti yang dinasihatkan oleh sebagian sahabat, “Tidaklah kamu menuturkan kepada suatu kaum dengan sebuah pembicaraan yang tidak terjangkau oleh akal mereka kecuali hal itu akan menimbulkan fitnah bagi sebagian mereka.” (lihat mukadimah Sahih Muslim)

Sebagaimana diingatkan oleh para ulama, bahwa pada masa-masa kerkobarnya fitnah bahaya lisan itu bisa lebih ganas daripada sabetan pedang. Dan pada masa ini kita hidup bersama sekian banyak sarana yang membuat orang dengan mudah mengumbar lisan dan komentarnya melalui media sosial yang ada. Padahal tidaklah terucap suatu perkataan melainkan ada di sisinya malaikat yang mengawasi dan senantiasa mencatat. Allahul musta’aan

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memberitakan bahwa Iblis mengutus pasukan-pasukannya ke berbagai penjuru dalam rangka mengobarkan fitnah dan kerusakan di tengah manusia (lihat HR. Muslim no 2813). Seorang muslim yang hendak membaca al-Qur’an diajari untuk berlindung kepada Allah dari godaan setan, padahal yang akan dibaca olehnya adalah kalam Allah. Lantas bagaimana lagi jika yang lewat di hadapannya adalah ucapan manusia dan orang-orang yang tidak jelas bagaimana keadaan aqidah dan manhajnya?!

Bahkan pada masa seperti sekarang ini, tidak berlebihan kalau kita perlu senantiasa merenungi doa yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khatib yang artinya, “Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa-jiwa kami, dan dari kejelekan amal-amal kami….” Dan demikianlah, seorang insan tentu mengetahui keadaan dan karakter dirinya… walaupun dia berusaha mengoleksi dan memasang sekian banyak dalih dan alasan…


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/julukan-wong-sableng/